Fahrenheitbot.my.id –
Jakarta, CNBC Indonesia – Industri gula di area Indonesia berada pada kondisi memprihatinkan. Produksi gula nasional terus menerus mengalami penurunan sedangkan kebutuhannya terus naik. Impor jadi solusinya.
Akibatnya, Indonesia mau tak mau harus membuka keran impor. Berdasarkan data Departemen Pertanian AS, impor gula Indonesia mencapai 5,8 jt ton di tempat periode 2022-2023. Besaran bilangan yang dimaksud menyebabkan Indonesia menjadi importir gula terbesar pada dunia.
Kondisi ini kemudian perlahan menciptakan nilai gula di dalam pada negeri meroket berkisar antara Mata Uang Rupiah 14.800 – Simbol Rupiah 15.000. Tentu saja, hal ini sangat berbanding terbalik dengan situasi Indonesia banyak tahun lalu. Dahulu, ada masanya Indonesia menjadi salah satu negara eksportir terbesar di dalam dunia. Bahkan, ada pelaku bisnis dengan syarat Indonesia yang digunakan dijuluki raja gula dunia saking menguasainya bursa gula global.
Bagaimana kisahnya?
Kisah manisnya sektor gula beratus-ratus tahun lalu bermula ketika tanam paksa berlangsung (1830-1870). Sejak itu para petani diharuskan mengalokasikan seperlima tanahnya untuk menanami vegetasi sesuai arahan pemerintah kolonial. Salah satu vegetasi yang dimaksud adalah tebu.
Sejak itulah perkebunan tebu muncul di area banyak wilayah Jawa. Keberadaan tumbuhan tebu otomatis menggalakkan pembangunan pabrik-pabrik gula, sebagai item hasil jadi tebu. Kelak, tebu serta pabrik gula jadi penggerak kegiatan ekonomi Hindia Belanda.
Foto: Kebun tebu. (Dok. holding-perkebunan)
Kebun tebu. (Dok. holding-perkebunan) |
Di masa-mana ini tidaklah ada catatan masalah berapa sejumlah produksi gula. Namun, menurut paparan Sejarah Nasional Indonesia (1975) banyak penduduk yang menanami tanah merek dengan tebu.
Seiring waktu, sektor gula tetap memperlihatkan menjadi primadona setelahnya era tanam paksa berakhir. Pemberlakuan UU Agraria dan juga UU Gula pada 1870 semakin memantik pertumbuhan bidang gula. Terlebih, pemerintah kolonial sejumlah memberikan keistimewaan ke lapangan usaha tebu, seperti pemberian kredit, keistimewaan distribusi, serta pembudidayaan tebu anti-hama.
Proteksi besar dari pemerintah itulah yang digunakan menyebabkan para pengusaha perusahaan swasta mulai menyewa tanah kemudian menanaminya dengan tebu supaya mampu mendapat sedikit keuntungan. Dalam catatan Ricklefs di Sejarah Indonesia Modern (2009), keistimewaan ini memproduksi para pemodal di area Hindia Belanda menanami tanah kosong dengan tebu. Singkatnya tiap ada tanah kosong, tebu pasti muncul.
Praktis, semakin berbagai tebu semakin meningkat juga produksi gula. Ricklefs mencatat pada 1885 produksi gula Hindia Belanda mencapai 380.400 metrik ton. Lalu sepuluhan tahun kemudian mencapai 581.600 metrik ton. Dan di tempat penghujung abad ke-19, produksi gula pecah rekor mencapai 744.300 metrik ton.
Gula lantas menjadi komoditas ekspor teratas dalam Hindia Belanda disusul kopi, teh, karet juga sebagainya. Salah satu orang yang dimaksud merasakan manisnya bidang gula adalah entrepreneur dengan syarat Semarang, Oei Tiong Ham. Dia berbisnis gula lewat bendera Oei Tiong Ham Concern (OTHC).
Onghokham pada Konglomerat Oei Tiong Ham (1992) mengumumkan OTHC berhasil mengekspor gula sebanyak 200 ribu ton di kurun 1911-1912. Jumlah ini bahkan setara 60% ekspor gula pada Hindia Belanda. Berkat besarnya kegiatan bisnis gula, Oei Tiong Ham dijuluki raja gula dunia serta tercatat punya kekayaan 200 jt gulden.
Namun, ada kisah pahit dibalik kesuksesan Oei Tiong Ham. Dia jadi bukti bahwa lapangan usaha gula di area Hindia Belanda tak terus-menerus pro-petani atau pemilik lahan. Rupanya besarnya keuntungan bidang gula tak terus-menerus disebabkan oleh besarnya permintaan dunia, tetapi juga kelicikan para pengusaha.
Menurut Ricklefs, berbagai entrepreneur yang tersebut memangkas upah petani kemudian menurunkan biaya sewa tanah. Alhasil, perusahaan gula makin makmur juga pemiliknya kaya raya. Lalu hidup petani bukan begitu sejahtera. Alhasil, jurang si kaya lalu si miskin makin melebar.
Sampai tahun 1930, tercatat ada 180-an pabrik gula pada Jawa. Hal ini baru Jawa, belum di tempat pulau-pulai lain. Dari banyak pabrik itu, tercatat lapangan usaha gula Hindia Belanda berhasil memproduksi 3 jt ton per tahun. Hal ini kemudian menjadikan Hindia Belanda salah satu pemain utama dunia.
Sayangnya, masa emas bidang gula mulai menghilang ketika pendudukan Jepang. Banyak pabrik gula ditutup yang dimaksud berdampak pada merosotnya produksi gula. Kondisi buruk ini lantas berlanjut di setelah Indonesia merdeka.